Sebuah surat yang menarik untuk bahan renungan dan pencerahan.. -cF-
Pokok pikiran ini sempat menjadi topik kontroversial ketika saya sampaikan di sebuah forum ramah-tamah seusai acara lebaran di KBRI. Dalam bentuknya sebagai artikel, juga 'tidak direkomendasi' untuk dimuat Kompas, sebelum dilakukan edit seperlunya. Saya menolak untuk mengedit, tetapi akan mengirimkannya kembali ke Kompas di edisi Lebaran tahun depan, tetap dgn judul yg sama persis "Kita Tidak Diwajibkan Saling Memaafkan". Berikut adalah inti pemikiran yg ingin saya sharing.
1) Sejauh yg saya pelajari dari kitab suci berbagai agama, tidak pernah saya temukan adanya anjuran untuk saling memaafkan. Yang ada adalah anjuran untuk "memaafkan". Tanpa ada tambahan kata "saling".
2) Kita dianjurkan untuk memaafkan, tanpa perlu peduli apakah yg kita maafkan akan memaafkan kita atau tidak. Kalo setiap indidu bersedia 'memaafkan', maka kondisi "saling memaafkan" akan tercipta dengan sendirinya. Sebaliknya, bila kita ngotot mentargetkan "saling memaafkan", justru mungkin satu sama lain akan terus saling menunggu untuk 'dimaafkan' sehingga bisa2 malah tidak pernah ada yg benar2 'memaafkan'.
3) Sebagai ilustrasi saya ceritakan di forum tersebut ttg sebuah 'eksperimen' yg saya lakukan dengan kalangan keluarga dan kawan terdekat, dimana selama beberapa Lebaran tahun2 terakhir ini mencoba tidak saling meminta maaf. (Jadi isi ucapan Lebarannya lebih seperti "selamat idul fitri, semoga kita semua happy!" atau "selamat idul fitri, mari kita terus semakin berprestasi!").
Saya secara personal sangat menikmati eksperimen ini, dengan pemahaman begini:
- Saya selalu memaafkan mereka, tanpa harus menunggu mereka minta maaf. Jadi kecuali fungsinya sbg sentuhan indah tata-krama, bagi saya pernyataan minta maaf mereka tidaklah memiliki nilai penting lainnya. Apalagi saya meyakini bahwa permintaan maaf terbaik adalah melalui perbuatan, bukan lewat kesantunan berkata-kata.
(hal ini berlaku di hari2 apapun, bukan cuma di momen lebaran, yg histori keberadaannya sebenarnya justru bukan ditujukan untuk forum saling memaafkan, dan malah mungkin cuma di kita ucapan salam lebaran ditransform menjadi berbunyi "mohon maaf lahir batin")
- Saya merasa tidak perlu meminta maaf kepada mereka, karena sangat yakin bahwa mereka yg berpikiran senada dgn saya tentunya juga telah memaafkan saya tanpa perlu menunggu saya harus memintanya. (jadi kalo saya bilang minta maaf, nanti malah arah perhatian lebih terfokus ke kekeliruan2 hari kemarin ketimbang ke perbaikan sikap di esok hari)
- Tentu tidak setiap mereka akan memaafkan saya sebelum saya meminta maaf. Untuk mereka ini, saya tidak keberatan memenuhi harapan mereka dengan 'meminta maaf', tetapi saya tahu bahwa maaf yg mereka berikan tentu agak berkurang kadar ketulusannya karena mereka harus menunggu saya minta maaf dulu hanya sekadar untuk memberikan maaf.
- Terparah adalah mereka yg tidak mau memaafkan, bahkan pun setelah saya meminta maaf. Menyikapi kelompok ini, tulisan yg dikirim Dodi menarik untuk dipraktekan. Maafkan sajalah...
- Komentar paling ironis adalah dari mereka yg justru marah2 menyikapi judul tulisan yg saya paparkan ini di forum presentasi, dgn memunculkan teguran aneka rupa yg pada intinya menuntut saya untuk meminta maaf atas analisa yg dikategorikan 'merendahkan budaya saling memaafkan' ini. Tentu bukan tuntutan yg sulit, apa susahnya meminta maaf. "Yang lebih sulit justru kemampuan memaafkan, bukan?" Sebagian bertepuktangan ketika saya mengucapkan ini sambil menjabat tangan mereka yg menuntut saya meminta maaf. Mudah2an mereka bisa menangkap ironinya.
Kesimpulan yg saya sodorkan:
pernyataan "Hendaknya Kita Saling Memaafkan" memiliki potensi untuk misleading, kurang menyiratkan kesiapan moral yg tinggi. Masih mengandung arogansi, seolah merasa bahwa "memaafkan" adalah tindakan heroik sehingga penting sekali untuk dilihat pihak mana yg sepantasnya memaafkan lebih dulu. ("kita akan memaafkan kalo mereka bersedia minta maaf lebih dulu!"), dan masih menyiratkan pemberian maaf yg setengah2 ("sialan, gue sudah memaafkan kok dianya gak mau memaafkan!"). Semua ini terjadi karena kita terperangkap pada pengharapan "saling memaafkan".
Jadi, dimaafkan atau tidak, saya tetap yakin bahwa Lebaran kali ini maupun di hari2 non-Lebaran lainnya, kita tidak wajib "saling memaafkan". Mari memaafkan. Tanpa harus menunggu 'saling'.
Maaf banget,
more86
Pokok pikiran ini sempat menjadi topik kontroversial ketika saya sampaikan di sebuah forum ramah-tamah seusai acara lebaran di KBRI. Dalam bentuknya sebagai artikel, juga 'tidak direkomendasi' untuk dimuat Kompas, sebelum dilakukan edit seperlunya. Saya menolak untuk mengedit, tetapi akan mengirimkannya kembali ke Kompas di edisi Lebaran tahun depan, tetap dgn judul yg sama persis "Kita Tidak Diwajibkan Saling Memaafkan". Berikut adalah inti pemikiran yg ingin saya sharing.
1) Sejauh yg saya pelajari dari kitab suci berbagai agama, tidak pernah saya temukan adanya anjuran untuk saling memaafkan. Yang ada adalah anjuran untuk "memaafkan". Tanpa ada tambahan kata "saling".
2) Kita dianjurkan untuk memaafkan, tanpa perlu peduli apakah yg kita maafkan akan memaafkan kita atau tidak. Kalo setiap indidu bersedia 'memaafkan', maka kondisi "saling memaafkan" akan tercipta dengan sendirinya. Sebaliknya, bila kita ngotot mentargetkan "saling memaafkan", justru mungkin satu sama lain akan terus saling menunggu untuk 'dimaafkan' sehingga bisa2 malah tidak pernah ada yg benar2 'memaafkan'.
3) Sebagai ilustrasi saya ceritakan di forum tersebut ttg sebuah 'eksperimen' yg saya lakukan dengan kalangan keluarga dan kawan terdekat, dimana selama beberapa Lebaran tahun2 terakhir ini mencoba tidak saling meminta maaf. (Jadi isi ucapan Lebarannya lebih seperti "selamat idul fitri, semoga kita semua happy!" atau "selamat idul fitri, mari kita terus semakin berprestasi!").
Saya secara personal sangat menikmati eksperimen ini, dengan pemahaman begini:
- Saya selalu memaafkan mereka, tanpa harus menunggu mereka minta maaf. Jadi kecuali fungsinya sbg sentuhan indah tata-krama, bagi saya pernyataan minta maaf mereka tidaklah memiliki nilai penting lainnya. Apalagi saya meyakini bahwa permintaan maaf terbaik adalah melalui perbuatan, bukan lewat kesantunan berkata-kata.
(hal ini berlaku di hari2 apapun, bukan cuma di momen lebaran, yg histori keberadaannya sebenarnya justru bukan ditujukan untuk forum saling memaafkan, dan malah mungkin cuma di kita ucapan salam lebaran ditransform menjadi berbunyi "mohon maaf lahir batin")
- Saya merasa tidak perlu meminta maaf kepada mereka, karena sangat yakin bahwa mereka yg berpikiran senada dgn saya tentunya juga telah memaafkan saya tanpa perlu menunggu saya harus memintanya. (jadi kalo saya bilang minta maaf, nanti malah arah perhatian lebih terfokus ke kekeliruan2 hari kemarin ketimbang ke perbaikan sikap di esok hari)
- Tentu tidak setiap mereka akan memaafkan saya sebelum saya meminta maaf. Untuk mereka ini, saya tidak keberatan memenuhi harapan mereka dengan 'meminta maaf', tetapi saya tahu bahwa maaf yg mereka berikan tentu agak berkurang kadar ketulusannya karena mereka harus menunggu saya minta maaf dulu hanya sekadar untuk memberikan maaf.
- Terparah adalah mereka yg tidak mau memaafkan, bahkan pun setelah saya meminta maaf. Menyikapi kelompok ini, tulisan yg dikirim Dodi menarik untuk dipraktekan. Maafkan sajalah...
- Komentar paling ironis adalah dari mereka yg justru marah2 menyikapi judul tulisan yg saya paparkan ini di forum presentasi, dgn memunculkan teguran aneka rupa yg pada intinya menuntut saya untuk meminta maaf atas analisa yg dikategorikan 'merendahkan budaya saling memaafkan' ini. Tentu bukan tuntutan yg sulit, apa susahnya meminta maaf. "Yang lebih sulit justru kemampuan memaafkan, bukan?" Sebagian bertepuktangan ketika saya mengucapkan ini sambil menjabat tangan mereka yg menuntut saya meminta maaf. Mudah2an mereka bisa menangkap ironinya.
Kesimpulan yg saya sodorkan:
pernyataan "Hendaknya Kita Saling Memaafkan" memiliki potensi untuk misleading, kurang menyiratkan kesiapan moral yg tinggi. Masih mengandung arogansi, seolah merasa bahwa "memaafkan" adalah tindakan heroik sehingga penting sekali untuk dilihat pihak mana yg sepantasnya memaafkan lebih dulu. ("kita akan memaafkan kalo mereka bersedia minta maaf lebih dulu!"), dan masih menyiratkan pemberian maaf yg setengah2 ("sialan, gue sudah memaafkan kok dianya gak mau memaafkan!"). Semua ini terjadi karena kita terperangkap pada pengharapan "saling memaafkan".
Jadi, dimaafkan atau tidak, saya tetap yakin bahwa Lebaran kali ini maupun di hari2 non-Lebaran lainnya, kita tidak wajib "saling memaafkan". Mari memaafkan. Tanpa harus menunggu 'saling'.
Maaf banget,
more86
Comments